PESANTREN AL-ZAITUN
Tak bisa disangkal, bangunan pondok pesantren Al-Zaytun yang terletak di
desa Gantar, Mekar Jaya, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu,
Propinsi Jawa Barat, merupakan pondok pesantren termegah saat ini.
Demikian megahnya, sampai-sampai banyak masyarakat Jakarta khususnya,
yang telah terbiasa dengan keberadaan kawasan elite dan modern pun masih
tetap terkesima,[1] terkagum-kagum saat mereka berbondong-bondong
meninjau dan melihat dari dekat pesantren yang termegah serta terbesar
di Asia Tenggara itu.
Setiap pengunjung yang berwisata ke Ma'had Al Zaytun untuk pertama kalinya hampir pasti akan menyimpulkan, inilah gambaran dan wujud sebuah pesantren yang tidak saja terpadu dan megah, juga sangat menjanjikan bagi masa depan Islam wal muslimin di Indonesia.
Sedangkan untuk gedung asrama, baik untuk santri putra maupun putri, diberi nama Al Musthafa, yang letaknya ber-hadapan dan dipisahkan dengan bangunan masjid utama. Di sini, tersedia laboratorium komputer, laboratorium bahasa dan perpustakaan. Fasilitas pendukung asrama seperti ruang makan, kitchen dan laundry disediakan dalam bentuk ruang bangunan rumah makan, yang mampu melayani sekitar 1.700 santri. Kitchen dan laundry[2] masing-masing dalam bentuk bangunan yang luasnya 1.200 meter persegi, dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Menurut publikasi yang dilakukan pihak Al-Zaytun, bumi Al-Zaytun yang sebelumnya kering dan tandus,[3] kini ditumbuhi segala jenis tanaman, termasuk pohon Tin, Korma dan Zaytun, yang biasanya hanya bisa tumbuh di negeri yang suhu dan keadaan tanahnya sama dengan negeri-negeri Arab. Pohon Tiin yang diwakafkan oleh pewakif dari Yordania dan Palestina, menurut publikasi mereka, konon hanya dalam tempo 40 hari semenjak ditancapkan akarnya di bumi Al-Zaytun ternyata langsung berputik. Padahal di negerinya sendiri belum tentu bisa secepat itu.
Yayasan Pesantren Indonesia ini dibentuk dan berdiri secara resmi baru sekitar delapan tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 1993 atau tanggal 10 Dzulhijjah 1413 H, dengan akte pendirian tertanggal 25 Januari 1994 bernomor 61 pada Notaris Ny. li Rokayah Sulaiman, SH. Meski tergolong baru, "prestasinya" terkesan spektakuler, bahkan sangat luar biasa untuk ukuran sebuah yayasan ummat Islam pada umumnya.
Kemunculan Yayasan Pesantren Indonesia sendiri terkesan tiba-tiba, begitu juga dengan kemampuan mereka menghimpun dana dalam jumlah besar dan dalam tempo yang relatif singkat, mengundang keheranan tersendiri. Apalagi, sampai saat ini kemampuan ekonomi ummat Islam khususnya masih carut-marut, akibat politik peminggiran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap ummat Islam.
Ternyata, YPI (Yayasan Pesantren Indonesia), sebuah yayasan Muslim "partikulir" yang secara formal tidak memiliki kaitan dengan institusi yang lebih kuat seperti yayasan milik Keluarga Cendana (Soeharto)[4], yayasan KORPRI, ataupun ICMI[5] dan yang sejenis, dan tidak pula dengan yayasan-yayasan masyarakat Muslim yang ada sebelumnya, ternyata bisa mengusasi lahan seluas ribuan hektar.
Secara formal, YPI (Ma’had Al-Zaytun) tak punya hubungan dengan –katakanlah– ICMI dan sebagainya. Namun menurut harian Republika edisi Ramadlan, Desember tahun 2000, dikabarkan bahwa ICMI di bawah kepemimpinan Adi Sasono dan segenap pengurusnya menggelar kegiatan dan kajian bersama dengan Syaikh al-Ma'had Al-Zaytun, AS Panji Gumilang di Pesantren Al-Zaytun, Haurgeulis Indiamayu. Demikian halnya para tokoh Golkar senior seperti, Harmoko, Abdul Ghafur, Isma'il Shaleh, Slamet Efendi Yusuf dan lain-lain.
Yang jelas, YPI dengan Al-Zaytunnya adalah sebuah yayasan yang pengurusnya adalah orang-orang yang bersahaja dan berlatar belakang bersahaja pula. Namun bila tiba-tiba mereka mampu menguasai lahan seluas 1.200 hektar, dengan alasan merupakan tanah waqaf sekalipun, tetap mengundang tanda tanya, dan rasanya mustahil bila tidak punya akses ke institusi yang lebih kuat (minimal secara politis).
Setiap pengunjung yang berwisata ke Ma'had Al Zaytun untuk pertama kalinya hampir pasti akan menyimpulkan, inilah gambaran dan wujud sebuah pesantren yang tidak saja terpadu dan megah, juga sangat menjanjikan bagi masa depan Islam wal muslimin di Indonesia.
Sedangkan untuk gedung asrama, baik untuk santri putra maupun putri, diberi nama Al Musthafa, yang letaknya ber-hadapan dan dipisahkan dengan bangunan masjid utama. Di sini, tersedia laboratorium komputer, laboratorium bahasa dan perpustakaan. Fasilitas pendukung asrama seperti ruang makan, kitchen dan laundry disediakan dalam bentuk ruang bangunan rumah makan, yang mampu melayani sekitar 1.700 santri. Kitchen dan laundry[2] masing-masing dalam bentuk bangunan yang luasnya 1.200 meter persegi, dan dilengkapi dengan peralatan modern.
Menurut publikasi yang dilakukan pihak Al-Zaytun, bumi Al-Zaytun yang sebelumnya kering dan tandus,[3] kini ditumbuhi segala jenis tanaman, termasuk pohon Tin, Korma dan Zaytun, yang biasanya hanya bisa tumbuh di negeri yang suhu dan keadaan tanahnya sama dengan negeri-negeri Arab. Pohon Tiin yang diwakafkan oleh pewakif dari Yordania dan Palestina, menurut publikasi mereka, konon hanya dalam tempo 40 hari semenjak ditancapkan akarnya di bumi Al-Zaytun ternyata langsung berputik. Padahal di negerinya sendiri belum tentu bisa secepat itu.
Yayasan Pesantren Indonesia ini dibentuk dan berdiri secara resmi baru sekitar delapan tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 1993 atau tanggal 10 Dzulhijjah 1413 H, dengan akte pendirian tertanggal 25 Januari 1994 bernomor 61 pada Notaris Ny. li Rokayah Sulaiman, SH. Meski tergolong baru, "prestasinya" terkesan spektakuler, bahkan sangat luar biasa untuk ukuran sebuah yayasan ummat Islam pada umumnya.
Kemunculan Yayasan Pesantren Indonesia sendiri terkesan tiba-tiba, begitu juga dengan kemampuan mereka menghimpun dana dalam jumlah besar dan dalam tempo yang relatif singkat, mengundang keheranan tersendiri. Apalagi, sampai saat ini kemampuan ekonomi ummat Islam khususnya masih carut-marut, akibat politik peminggiran yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap ummat Islam.
Ternyata, YPI (Yayasan Pesantren Indonesia), sebuah yayasan Muslim "partikulir" yang secara formal tidak memiliki kaitan dengan institusi yang lebih kuat seperti yayasan milik Keluarga Cendana (Soeharto)[4], yayasan KORPRI, ataupun ICMI[5] dan yang sejenis, dan tidak pula dengan yayasan-yayasan masyarakat Muslim yang ada sebelumnya, ternyata bisa mengusasi lahan seluas ribuan hektar.
Secara formal, YPI (Ma’had Al-Zaytun) tak punya hubungan dengan –katakanlah– ICMI dan sebagainya. Namun menurut harian Republika edisi Ramadlan, Desember tahun 2000, dikabarkan bahwa ICMI di bawah kepemimpinan Adi Sasono dan segenap pengurusnya menggelar kegiatan dan kajian bersama dengan Syaikh al-Ma'had Al-Zaytun, AS Panji Gumilang di Pesantren Al-Zaytun, Haurgeulis Indiamayu. Demikian halnya para tokoh Golkar senior seperti, Harmoko, Abdul Ghafur, Isma'il Shaleh, Slamet Efendi Yusuf dan lain-lain.
Yang jelas, YPI dengan Al-Zaytunnya adalah sebuah yayasan yang pengurusnya adalah orang-orang yang bersahaja dan berlatar belakang bersahaja pula. Namun bila tiba-tiba mereka mampu menguasai lahan seluas 1.200 hektar, dengan alasan merupakan tanah waqaf sekalipun, tetap mengundang tanda tanya, dan rasanya mustahil bila tidak punya akses ke institusi yang lebih kuat (minimal secara politis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar